Wednesday 3 August 2022

Gemar Membaca VS Tidak Mau Membaca

Perbedaan antara Penulis yang Gemar Membaca dan Penulis yang Tidak Mau Membaca.



1️⃣ Penulis yang gemar membaca memiliki gaya bertutur lebih terstruktur sehingga lebih mudah dipahami oleh pembacanya, serumit apa pun isi narasinya. Sebaliknya, penulis yang tidak mau membaca memiliki gaya bertutur yang berantakan sehingga untuk menceritakan sesuatu yang sederhana saja terasa sulit untuk dipahami.

2️⃣ Penulis yang gemar membaca memiliki kemampuan berlogika yang lebih baik dan pastinya akan selalu memikirkan unsur logis dari suatu adegan sebelum menuliskannya. Sebaliknya, penulis yang tidak mau membaca akan menulis adegan sekehendak hatinya tanpa banyak berpikir dan berteori bahwa menulis cerita fiksi itu bebas untuk bercacat logika. Hei, pengetahuan saja kurang karena tidak mau membaca, sudah berani membuat teori sendiri?

3️⃣ Penulis yang gemar membaca akan mendapatkan banyak sekali pengalaman (dari apa yang dibacanya) sehingga mampu membuat cerita dengan isi yang lebih menarik dengan tema yang lebih luas. Tidak terjebak dalam satu lingkup kisah saja yang mana isi ceritanya atau konfliknya memiliki pola yang seperti itu-itu saja. Misalnya, penulis yang tidak suka membaca biasa menulis kisah tentang pelakor dan akan terus menuliskan tema demikian di karya-karya selanjutnya. Hanya judul dan tokohnya saja yang berbeda. Konfliknya begitu-begitu saja seperti FTV Azab atau Ku Menangis di Ind*siar yang sudah sangat jelas sekali formulanya.

4️⃣ Penulis yang gemar membaca akan lebih lihai membuat cerita rumit penuh intrik karena pengalamannya mengajarkan mereka untuk selalu berpikir secara struktural, bukan menulis bebas saja tanpa perhitungan matang untuk sekadar mengisi waktu luang. Penulis yang tidak mau membaca cenderung menulis cerita sederhana yang sengaja dibuat rumit sehingga menjadi tidak logis, dan menimbulkan kesan karakter cerita yang kelewat bodoh, konyol, dan lebay.

5️⃣ Penulis yang gemar membaca akan mampu menilai kualitas isi suatu cerita sesuai pengalamannya. Semakin tinggi standar bacaannya, semakin tinggi juga kemampuannya dalam menilai kualitas suatu karya. Semakin terbiasa membaca karya yang jelek, akan menurunkan standar penilaiannya pada bacaan yang lain. Semakin terbiasa membaca karya-karya masterpiece atau berstandar tinggi, tentunya menjadi peka terhadap karya yang jelek, sedangkan penulis yang tidak mau membaca tidak akan tahu standar karyanya sendiri dan akan merasa karyanya bagus-bagus saja (bagi dirinya dan bagi pembaca yang memang standar bacaannya rendah), dan selamanya akan terjebak dalam menciptakan karya berstandar rendah (baca: jelek).

Selain dari yang saya sebutkan di atas, penulis yang gemar membaca akan lebih banyak tahu, sedangkan penulis yang tidak mau membaca akan banyak sekali diliputi ketidaktahuan. Karya banyak, tapi banyak hal yang ia tidak paham. Lucu, bukan?

"Ah, tapi saya nulis cerita pelakor tanpa perlu banyak baca dan memanfaatkan plot yang begitu-begitu saja sudah menghasilkan jutaan rupiah kok dari platform online."

Oh, ya terserah. Jika sudah nyaman dalam lingkungan kaki lima, silakan lanjutkan saja. Jika ingin mendapat perhatian seluruh Indonesia bak bintang lima, think again.

Tingkatkan standar bacaanmu maka kualitas karyamu juga akan meningkat. Jika standarmu meningkat, menulis kisah pelakor pun tidak akan menjadi masalah karena kamu akan menciptakan kisah pelakor yang dibawakan dengan sangat berkelas, bukan karya murahan. 😊


---

Disadur dari: Glen Tripollo, Founder of SkriveLit Project (Author • Editor • Conceptor • Consultant)

Sumber gambar: Pinterest.com

No comments:

Post a Comment